
Alkisah, ada empat orang buta diminta mendeskripsikan gajah. Orang buta pertama mendekati gajah dan mulai meraba-raba. Dia tersentuh bagian kaki dan mulai merayapinya dengan telapak tangan. Setelah selesai, dengan penuh percaya diri dia pun menjelaskan bahwa gajah berbentuk bulat panjang, kokoh, dan tegak lurus ke atas. Ukurannya tidak terlalu besar karena dapat dipeluk dengan kedua tangan.
Setelah itu, gantian orang buta kedua yang mendekati gajah. Dia mulai meraba dan tampak mengernyitkan dahi. Gajah menurutnya tidak persis sama dengan deskripsi dari orang buta pertama. Bentuknya memang bulat panjang, tapi tidak tegak lurus ke atas melainkan ke samping. Ukurannya pun jauh lebih besar karena tidak dapat dipeluk.
Mendengar dua penjelasan yang berbeda itu, orang buta ketiga merasa kalau ada yang salah dengan mereka berdua. Sama seperti yng lain, dia juga mulai mendekat dan meraba-raba tubuh gajah. Kebetulan dia mendapati bagian yang berbeda, yaitu belalainya. Awalnya dia mengangguk-angguk tanda setuju, gajah memang berbentuk bulat panjang. Tapi dia kemudian menyadari bahwa gajah tidak sebesar yang disebutkan dua orang itu, karena masih bisa digenggam dengan dua telapak tangan. Jadi tidak harus dipeluk. Selain itu, bentuknya juga tidak kokoh dan kaku, melainkan lentur dan mudah meliuk-liuk.
Orang buta keempat tentu saja sangat penasaran. Dia bertanya-tanya dalam hati, kenapa ketiga orang sebelumnya bisa berbeda pendapat sedemikian rupa. Dia mulai mendekati gajah, menjulurkan tangan, lalu mendapati bagian telinganya. Betapa terkejutnya ia, bentuk gajah sangat jauh berbeda dari yang disebutkan tiga orang sebelumnya. Gajah tidak bulat sama sekali, melainkan pipih dan lebar!
Begitulah kira-kira gambaran sederhana bagaimana kita melihat dunia. Karena memiliki kelemahan dan keterbatasan, kita tidak pernah mendapatkan gambaran utuhnya. Sering kali kita melihat dunia hanya dari satu sisi atau sudut pandang saja. Sudut pandang inilah yang disebut dengan perspektif.
Dalam menjalani kehidupan, kita senantiasa dituntut untuk mengamati dan mempelajari dunia yang maha luas ini, berharap mendapatkan pemahaman dan gambaran yang utuh. Sayangnya, kita biasanya hanya memiliki satu perspektif tentang sesuatu. Lalu orang lain memiliki perspektif yang berbeda, karena mereka melihatnya dari tempat dan sudut yang berbeda. Hasilnya, muncullah perbedaan pendapat di antara kita tentang sesuatu yang sebenarnya sama.
Jika kita teguh dengan perspektif kita dan tidak mau menerima perspektif orang lain, yang muncul kemudian adalah sebuah perdebatan. Jika perdebatan itu tidak menemui titik kesepakatan, ujungnya bisa saja menimbulkan permusuhan atau perpecahan. Alih-alih menyelesaikan masalah, kita malah menambah masalah baru, yaitu bermusuhan dengan orang lain.
Sebaliknya, jika kita mau bersikap terbuka dengan segala kemungkinan yang ada. Kita mau menerima berbagai macam perspektif yang berbeda yang dikemukakan orang lain. Kita lalu berupaya menghubung-hubungkan dan menyusunnya secara proporsional sesuai dengan posisi masing-masing . Kita pun akan mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang fenomena itu. Jika pemahaman utuh itu disepakati, hasilnya adalah sebuah kebijaksanaan yang mendorong tumbuhnya kebersamaan dan persatuan.
Kembali ke:
Postingan Terbaru
- Metode Penelitian Korelasi
- Kids need soft skills in the age of AI, but what does this mean for schools?
- The ChatGPT effect: In 3 years the AI chatbot has changed the way people look things up
- Girls and boys solve math problems differently – with similar short-term results but different long-term outcomes
- Metode Studi Kasus untuk Riset di Bidang Pendidikan
Bergabunglah dengan kami.
Mari ikut berkontribusi membangun peradaban melalui tulisan.


Tinggalkan komentar