Penulis: Anita W. Kursasi
Silakan jadi orang cerdas, namun jangan karena kecerdasan kita lalu kita normalisasi kesalahan sikap kita dengan kecerdasan kita. Itu namanya ‘keminter lan minteri’ dengan banyaknya alasan demi menangnya ego kita saja.
Silakan jadi orang jujur dan bebas bicara apa saja. Namun, berpikirlah bijaksana bahwa kejujuran tanpa filter kebaikan itu akan menjadi bumerang bagi dirimu sendiri. Bahkan, bisa jadi meracuni orang lain. Kalau mengandung ajaran yang baik secara agama dan norma sih, nggak apa! Kalau buruk? Berat tanggung jawabnya!
Intinya, mau berbuat baik atau buruk tarohlah kita tetap bersikukuh tidak mengganggu orang lain, maka minim berpeganglah pada etika umum. Mau bandel nggak sholat pun itu urusanmu sendiri, tapi minim pegang aturan umum. Punyai adab dalam bergaul dan jangan jadi jumawa karena sedang berada di ‘atas’, karena esok hari saja kita tak tahu bagaimana hidup kita.
Mau nakal-nakal dikit, salah-salah dikit, itu wajar! Bahkan agak banyak juga normal. Manusia memang tempatnya salah dan khilaf. Namun, nakallah sendiri, salahlah sendiri. Jangan ngajak orang lain, dan jangan jadi mengajari anak orang untuk ikut salah juga.
Yang disebut inspirasi itu selalu arahnya kebaikan, baik di dalam ajaran Tuhan maupun norma hidup yang dianut manusia secara umum dalam kenormalan. Lepas dari itu, maaf bukan lagi inspirasi. Itu ajaran manusia saja, dan bisa jadi salah karena berdasarkan pada alasan dan ego pribadinya saja. Nggak bisa ‘digebyah uyah’ atau dipukul rata.
Misallnya, nggak menikah karena memang belum Tuhan pertemukan dengan jodohnya, itu tidak mengapa. Toh ikhtiar dan doanya tetep jalan, tapi BUKAN gembar-gembor menyebarkan virus agar tidak menikah biar bebas, biar nggak disakiti lelaki.
Hai! Nggak semua lelaki brengsek lho..! Yang baik masih banyak juga kog! Kamu aja yang mikir gitu lalu mendoktrin dirimu sendiri dengan pikiranmu! Jika itu hanya untukmu, nggak apa. Namun, jika itu kamu ajarkan sehingga mempengaruhi generasi muda, bakal sedih banget semua orang tua!
Itu akan menjadi ‘negative branding‘ untuk dirimu sendiri juga. Makin malas yang mau dekat kamu dan jatuh cinta. Lha pikiranmu pada pernikahan buruk melulu. Bahkan, wanita-wanita yang gagal dalam pernikahan saja tetap mengajarkan anaknya untuk menikah dan berdoa agar mereka menikah dan bahagia? Nggak pakai nakut-nakutin dengan versi cerita pribadi kegagalan dan penderitaannya. Pikirannya tetap mengarah pada yang baik, positif, husnudzan. Itu baru wanita keren menawan, nggak malah memanas-manasi tentang buruknya masa depan pernikahan.
Lagi…, belum punya anak karena memang sakit karena ada kelainan, atau memang masih belum Tuhan beri sebagai ujian, padahal sudah ikhtiar kemana-mana dan doa, itu juga gak masalah! Asal, BUKAN gembar-gembor nyebarin virus ‘childless’ atau ‘childfree’ pada orang lain. Ngapain?
Sunatullahnya manusia itu hidup, tumbuh, mendewasa, menikah dan berkembang biak meneruskan garis hidup hingga kiamat tiba. Tentu dengan tatanan kehidupan yang baik dalam agama dan norma. Jadi, jangan kauacak-acak dengan pikiranmu sesukanya.
Ingat bahwa manusia itu bisa dalam sekejap terbolak-balik hatinya, Allah bolak-balik hatinya. So, mikirnya yang baik-baik saja agar yang terjadi pun selalu yang baik-baik. Yang indah-indah! Yang bahagia!
Berpikir baik, bersikap baik dan melakukan kebaikan itu perlu energi. Berpikir buruk, bersikap buruk, dan melakukan keburukan pun sama capeknya! Terus, ngapain mikir dan melakukan yang buruk-buruk dalam hidup? Rugi! Dunia akhirat rugi!
Kembali ke:
Postingan Terbaru
- Metode Penelitian Korelasi
- Kids need soft skills in the age of AI, but what does this mean for schools?
- The ChatGPT effect: In 3 years the AI chatbot has changed the way people look things up
- Girls and boys solve math problems differently – with similar short-term results but different long-term outcomes
- Metode Studi Kasus untuk Riset di Bidang Pendidikan
Bergabunglah dengan kami.
Mari ikut berkontribusi membangun peradaban melalui tulisan.


Tinggalkan komentar