Meluaskan Pikiran

Sebelum membuat situs PENULIS, TULISAN, DAN PERADABAN ini, saya sering membagikan tulisan atau catatan-catatan di salah satu media sosial. Kebetulan di sana saya memiliki banyak teman, baik teman yang memang kenal di dunia nyata, maupun teman yang hanya kenal di dunia maya, alias belum pernah bertemu muka. Bagaimanapun, berteman dengan mereka tetap menyenangkan dan bermanfaat. Terutama karena mereka sering memberikan tanggapan atau komentar atas tulisan yang saya bagikan.

Di antara komentar-komentar itu, ada satu pertanyaan yang menggelitik di benak saya. Pertanyaannya begini, “Ngomong-ngomong, jurusanmu ketika S2 apa sih, Fer?”

Pertanyaan tersebut sederhana, tapi membuat saya tertegun dan merenung. Sebelumnya saya sudah memberi tahu kalau saya kuliah di program studi pendidikan IPA konsentrasi Biologi. Di profil juga saya pajang riwayat pendidikan yang sebenarnya.

Apakah dia menduga isi profil saya mengada-ada seperti yang sering dilakukan abege yang sedang mencari jati diri? Kenapa dia masih bertanya seperti itu padahal sudah diberi informasi? Apakah dia meragukan kejujuran, keahlian, atau pendidikan saya?

Saya lalu melakukan kilas balik terhadap tulisan-tulisan yang pernah dibagikan sebelumnya. Hasilnya, ternyata memang tidak satu pun tulisan tersebut yang membahas tentang biologi, bahkan tentang pendidikan.

Hemmm! Pantas saja jurusan kuliah saya dipertanyakan dan agak diragukan. Itu karena tidak tampak bukti konkretnya terutama dari semua tulisan yang telah dibagikan.

Pertanyaannya, kenapa saya tidak menuliskan artikel-artikel tentang biologi? Kenapa malah membahas hal yang lain?

Baiklah, tulisan ini memang diniatkan untuk menjawab pertanyaan itu. Jadi begini. Meskipun saya tidak pernah menulis artikel-artikel tentang biologi secara khusus, bukan berarti saya tidak belajar biologi atau tidak menguasai bidang itu. Bukan juga saya tidak berkomitmen dengan bidang keilmuan saya. Bukan itu alasannya.

Saya merasa bahwa belajar biologi saja tidak cukup untuk menjalani kehidupan. Saya merasa perlu belajar ilmu-ilmu lain. Bila perlu saya ingin mempelajari semua ilmu lainnya. Kenapa bisa seperti itu? Saya juga tidak tahu persis. Itu lebih ke arah dorongan alamiah atau naluriah di dalam diri saya.

Sejauh perjalanan hidup saya hingga kini, rasanya saya telah belajar banyak hal. Mungkin saja itu malah melebihi kebutuhan hidup saya sendiri. Tapi ada alasannya tersendiri kenapa saya melakukan itu. Menurut saya, pikiran yang diberi makan berbagai macam ilmu membuatnya terus bertumbuh menjadi lebih luas, lebih mendalam, dan lebih sehat.

Kenapa pikiran mesti diperluas?

Saya pernah diberi nasehat oleh seorang teman ketika saya pertama kali ditolak seorang cewek. Saat itu saya sangat gundah dan gelisah. Saya kehilangan semangat hidup. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Lalu seorang teman menasehati begini “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, dunia tak selebar daun kelor.”

Saya merenungkan sejenak ucapannya. Dan… Bum!!! Benar! Saya sepakat! Dunia memang tidak selebar daun kelor! Dunia ini sangat luas!

Tapi masalahnya, pikiran manusialah yang seringkali selebar daun kelor. Termasuk mungkin pikiran saya waktu itu.

Dari berbagai pengamatan yang saya lakukan, saya menemukan bahwa pikiran manusialah yang seringkali sempit. Akibatnya, ada saja manusia yang menjadi rapuh dan putus harapan ketika menghadapi masalah atau ditimpa musibah. Akhirnya, mereka malah mengambil jalan yang keliru, bahkan jalan pintas. Tidak sedikit yang lari dari kenyataan dengan cara mengkonsumsi narkoba, minum-minuman keras, atau sampai bunuh diri. Itu bukan hanya dapat merusak diri sendiri melainkan juga dapat merugikan orang lain.

Tapi beruntung, pikiran saya waktu itu tidak sesempit mereka. Jadi saya tidak sampai melakukan hal-hal negatif yang cenderung merusak diri atau bahkan merugikan orang lain.

Berkat nasehat teman saya dulu, saya pun kemudian mengikrarkan diri, “saya akan membuat pikiran saya menjadi luas seluas-luasnya, agar saya tidak terlalu gundah dan putus asa tatkala diterpa masalah, kesulitan, kegagalan, atau musibah.”

Saya kini berkeyakinan bahwa dengan pikiran yang luas, kita bisa melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Keberuntungan dan kemalangan, atau anugerah dan musibah, adalah keniscayaan hidup, sesuatu yang pasti kita alami.

Apakah kita merasa bahagia atau menderita ketika menghadapi berbagai macam situasi dalam hidup?

Semuanya bergantung dengan sudut pandang kita dalam memandang dan menyikapinya. Tidak selamanya kemalangan membuat menderita. Kemalangan pun bisa membuat bahagia.

Allah memperlihatkan halilintar yang membuat kalian takut, dan pada saat yang sama kalian menyampaikan harapan. Allah pula yang membentuk awan mendung itu” (Ar-Ra’d : 12).

Bagaimana caranya meluaskan pikiran?

Saya sering mendengar kata bijak, “pengalaman adalah guru yang paling baik.” Secara ringkas dapat disimpulkan kalau belajar dari pengalaman merupakan belajar yang paling baik. Oleh karena itu, untuk meluaskan pikiran, kita mesti banyak belajar dari pengalaman hidup.

Namun faktanya, ruang dan waktu hidup kita sangatlah terbatas, sehingga pengalaman hidup kita pun menjadi terbatas. Mustahil kita dapat mengalami sendiri semua pengalaman hidup. Mustahil pula bagi kita mencoba sendiri segala sesuatu yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, kit tidak boleh membatasi diri hanya belajar berdasarkan pengalaman hidup diri sendiri. Kita juga harus banyak belajar dari pengalaman hidup orang lain.

Belajar dari pengalaman orang lain, terutama orang-orang di sekitar juga ada keterbatasannya. Seluas apa pun pergaulan kita, tetap saja itu terbatas. Orang-orang yang kita kenal pasti terbatas, tidak semua orang di dunia ini. Itu berarti dapat membatasi wawasan kita.

Oleh karena itu, kita juga butuh sumber pengalaman lain yang jauh lebih luas dibandingkan pergaulan pribadi. Kita harus belajar dari pengalaman orang lain yang tidak dikenal atau tidak bisa ditemui.

Banyak orang besar yang pengalamannya patut dijadikan pelajaran. Orang-orang besar tersebut tentu sangat sulit ditemui, pertama tempatnya yang nun jauh disana. Kedua, ada yang hidupnya jauh di masa lampau. Kita hanya bisa belajar melalui tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di dalam buku-buku atau bentuk-bentuk tulisan lainnya.

Kesimpulan

Catatan-catatan yang telah saya buat dan bagikan di media sosial sebelumnya merupakan contoh hasil belajar saya dari pengalaman diri sendiri, orang-orang sekitar, bahkan orang-orang besar yang masih hidup saat ini maupun yang hidup di masa lampau. Semuanya saya lakukan demi meluaskan pikiran.

Jadi, sampai di sini bisa dimaklumi, bukan, kalau saya tidak hanya menulis tentang biologi. Saya telah belajar banyak hal dari pengalaman dan kehidupan, jauh lebih banyak daripada yang saya peroleh dari pendidikan formal, terutama pendidikan biologi. Sayang sekali rasanya kalau hasil yang telah diperoleh itu tidak dibagikan kepada sesama melalui tulisan.

Bukankah selama ini saya juga banyak belajar dari sesama melalui tulisan-tulisan juga?


Komentar

Tinggalkan komentar