
Di tengah gelombang pesatnya perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI), aktivitas membaca buku tampak kian terpinggirkan. Gawai, media sosial, dan konten instan kini menjadi sumber utama informasi dan hiburan bagi banyak orang.
Namun, meskipun kita hidup dalam era serba cepat ini, membaca buku tetap menjadi kegiatan yang sangat penting, bahkan semakin relevan di tengah banjir informasi digital (Carr, 2011).
Buku adalah sumber pengetahuan yang telah melalui proses kurasi, penelitian, dan pemikiran mendalam. Di saat internet menyajikan informasi dalam bentuk potongan pendek dan sering kali belum diverifikasi, buku hadir sebagai penopang literasi kritis dan pemahaman komprehensif (Wolf, 2018). Buku mengajarkan kita untuk menelusuri ide dari awal hingga akhir, sesuatu yang jarang dilakukan dalam budaya baca kilat di media digital.
Era digital menciptakan tantangan berupa menurunnya rentang konsentrasi. Kebiasaan menggulir layar dan berpindah-pindah aplikasi membuat otak terbiasa dengan informasi singkat dan cepat. Membaca buku melatih otak untuk kembali fokus, menyelami narasi panjang, dan memperdalam pemahaman terhadap suatu gagasan atau topik. Ini sangat penting untuk membentuk kemampuan berpikir kritis dan reflektif (Small & Vorgan, 2008).
Kemunculan AI telah mengubah cara kita mengakses dan mengolah informasi. Kini, mesin bisa menyarikan, menerjemahkan, bahkan menulis teks dalam hitungan detik. Namun, hal ini tidak serta merta menggeser pentingnya membaca buku. Justru, agar kita tidak sekadar menjadi konsumen pasif teknologi, kita perlu membekali diri dengan pemahaman mendalam dan konteks yang kaya—dua hal yang ditawarkan oleh buku (Harari, 2018).
Buku juga menumbuhkan empati dan imajinasi. Melalui cerita dan narasi yang kompleks, pembaca diajak menyelami pengalaman dan sudut pandang orang lain. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan cenderung individualistik, empati menjadi nilai kemanusiaan yang harus terus dipupuk (Nussbaum, 2010). Buku, khususnya karya sastra, memainkan peran penting dalam hal ini.
Dalam konteks pendidikan, membaca buku membantu siswa membangun fondasi pengetahuan yang kokoh. AI dan teknologi digital memang memudahkan akses ke informasi, tetapi pemahaman yang dalam tetap harus dibangun melalui proses membaca yang aktif dan reflektif. Buku menjadi media utama untuk proses ini, karena menawarkan struktur pembelajaran yang sistematis dan menyeluruh (OECD, 2019).
Tak hanya itu, membaca buku juga memperkaya kosakata dan kemampuan bahasa seseorang. Hal ini penting dalam berkomunikasi secara efektif, baik dalam tulisan maupun lisan. Di era di mana komunikasi digital seringkali disingkat dan dipermudah, keterampilan bahasa yang kuat tetap dibutuhkan, terutama dalam dunia profesional dan akademik (Nation, 2001).
Membaca buku juga menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya instan. Buku mengajarkan kesabaran dan proses. Dalam dunia digital yang serba cepat, kesabaran dalam memahami dan menyelesaikan sebuah buku adalah latihan mental yang sangat berharga. Ini melatih ketekunan, disiplin, dan kemampuan berpikir jangka panjang (Postman, 1985).
Di tengah dominasi algoritma yang mengarahkan apa yang kita lihat dan baca, buku memberikan ruang bagi pembaca untuk memilih sendiri alur pemikiran dan pengalaman intelektualnya. Buku tidak didikte oleh tren sesaat atau popularitas, tetapi oleh kualitas isi dan relevansi gagasan. Membaca buku adalah cara menjaga kedaulatan pikiran di tengah arus digital yang mudah menyeret (Zuboff, 2019).
Perpustakaan digital dan buku elektronik kini menawarkan format baru untuk membaca. Ini adalah bukti bahwa buku tetap bertahan dan beradaptasi. Membaca dalam format digital tetap memberi manfaat, selama kita membaca secara mendalam dan bukan sekadar memindai halaman. Yang penting bukan bentuknya, melainkan kualitas interaksi kita dengan teks (Baron, 2015).
Dalam dunia kerja yang makin dipengaruhi oleh otomatisasi dan AI, kemampuan manusia yang tak tergantikan adalah kreativitas, empati, dan pemikiran kritis. Semua kemampuan ini dapat diasah melalui kebiasaan membaca buku. Maka, membaca buku bukan hanya soal memperoleh pengetahuan, tapi juga memperkuat sisi-sisi kemanusiaan kita (Pink, 2005).
Peran orang tua, guru, dan institusi pendidikan sangat penting dalam menumbuhkan budaya baca. Anak-anak perlu dikenalkan sejak dini pada buku, bukan hanya sebagai sumber pelajaran, tapi juga sebagai teman dalam menjelajah dunia. Di era digital, kebiasaan membaca buku harus ditanamkan secara sadar sebagai kebiasaan hidup yang bernilai (Krashen, 2004).
Kesimpulannya, meskipun kita hidup di era digital dan kecerdasan buatan yang serba canggih, membaca buku tetap penting—bahkan semakin penting. Buku memberikan kedalaman di tengah arus informasi dangkal, ketenangan di tengah distraksi digital, dan kemanusiaan di tengah algoritma. Dengan membaca buku, kita tidak hanya menjadi lebih cerdas, tetapi juga lebih bijaksana.
Daftar Pustaka (APA Style)
Baron, N. S. (2015). Words Onscreen: The Fate of Reading in a Digital World. Oxford University Press.
Carr, N. (2011). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W. W. Norton & Company.
Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau.
Krashen, S. D. (2004). The Power of Reading: Insights from the Research (2nd ed.). Libraries Unlimited.
Nation, I. S. P. (2001). Learning Vocabulary in Another Language. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities. Princeton University Press.
OECD. (2019). PISA 2018 Results (Volume I): What Students Know and Can Do. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/5f07c754-en
Pink, D. H. (2005). A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the Future. Riverhead Books.
Postman, N. (1985). Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Penguin Books.
Small, G., & Vorgan, G. (2008). iBrain: Surviving the Technological Alteration of the Modern Mind. Harper.
Wolf, M. (2018). Reader, Come Home: The Reading Brain in a Digital World. Harper.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs.
Kembali ke:
Postingan Terbaru
- Metode Penelitian Korelasi
- Kids need soft skills in the age of AI, but what does this mean for schools?
- The ChatGPT effect: In 3 years the AI chatbot has changed the way people look things up
- Girls and boys solve math problems differently – with similar short-term results but different long-term outcomes
- Metode Studi Kasus untuk Riset di Bidang Pendidikan
Bergabunglah dengan kami.
Mari ikut berkontribusi membangun peradaban melalui tulisan.


Tinggalkan komentar