Guru vs Penguasa Zalim: Pena yang Menantang Kekuasaan

Dalam setiap zaman, selalu ada dua kekuatan besar yang berhadapan: kekuasaan dan pengetahuan. Di satu sisi, penguasa memegang kendali atas hukum, kebijakan, dan kekuatan fisik. Di sisi lain, guru memegang kendali atas pikiran dan hati manusia. Ketika penguasa menjadi zalim—menindas, membungkam, dan menipu—guru sering kali menjadi pihak yang berani berdiri di seberangnya.

Guru: Penjaga Akal Sehat Bangsa

Guru bukan hanya pengajar yang menuliskan rumus di papan tulis. Ia adalah penjaga akal sehat masyarakat. Melalui kata-katanya di kelas, guru menanamkan nilai kejujuran, keadilan, dan keberanian berpikir. Sementara penguasa zalim berusaha menjaga rakyat tetap patuh dan tidak berpikir, guru justru mengajarkan siswanya untuk bertanya, menganalisis, dan tidak mudah percaya begitu saja.

Dalam situasi politik yang menekan, guru sering menjadi suara moral yang menolak ikut arus. Mereka tahu bahwa mendidik bukan sekadar mencetak pekerja, tetapi membentuk manusia merdeka—yang berani menggunakan akal dan hati nuraninya.

Ketika Guru Menjadi Lentera di Tengah Kegelapan

Sejarah menunjukkan, banyak perubahan besar dimulai dari ruang kelas. Ketika penguasa zalim mencoba mematikan cahaya, guru-lah yang menyalakan lentera pengetahuan.

Bayangkan seorang guru di pelosok yang tetap mengajarkan kejujuran meski lingkungannya korup. Atau guru yang diam-diam mengajak siswanya membaca buku-buku kritis tentang kebebasan berpikir. Mereka mungkin tidak memegang senjata, tetapi pena dan kata-kata mereka bisa mengguncang tatanan yang tidak adil.

Dalam dunia yang penuh propaganda, guru yang berpikir merdeka adalah bentuk perlawanan paling kuat. Ia menolak tunduk pada ketakutan, karena tahu: menutup mulut di depan ketidakadilan sama saja dengan menyetujui kezaliman itu sendiri.

Antara Kekuasaan dan Kebenaran

Penguasa zalim sering takut pada guru. Bukan karena fisik atau kekayaan mereka, tetapi karena pikiran merdeka yang diajarkan guru bisa membangunkan kesadaran rakyat. Seorang penguasa bisa menguasai tubuh manusia, tapi tidak bisa menaklukkan pikirannya—selama masih ada guru yang mengajarkan keberanian berpikir.

Guru sejati tahu bahwa loyalitasnya bukan kepada penguasa, melainkan kepada kebenaran dan kemanusiaan. Ia akan tetap berbicara jujur walau risikonya besar, karena dalam dirinya hidup semangat untuk membebaskan, bukan menundukkan.

Guru sebagai Benteng Harapan

Ketika keadilan tampak kabur dan suara kebenaran ditekan, masyarakat masih punya satu harapan: guru. Di tangan guru, generasi baru bisa tumbuh dengan keberanian untuk berkata “tidak” pada ketidakadilan dan “ya” pada kebenaran.

Guru tidak selalu berteriak di jalan atau menulis manifesto perlawanan. Kadang perjuangannya sederhana—membuka wawasan siswa tentang kejujuran, mengajak berpikir kritis, dan menanamkan empati. Tapi justru dari kesederhanaan itulah lahir kekuatan besar: kesadaran kolektif untuk melawan kebodohan dan penindasan.

Penutup

Guru dan penguasa zalim berada di dua kutub yang bertolak belakang. Penguasa zalim ingin rakyat tunduk tanpa berpikir; guru ingin muridnya berpikir tanpa tunduk.

Dalam benturan antara kekuasaan dan pengetahuan, guru adalah penjaga terakhir dari kemerdekaan batin manusia. Selama masih ada guru yang jujur dan berani, kezaliman tidak akan pernah benar-benar menang—karena dari ruang kelas kecil di pelosok negeri, selalu lahir generasi yang siap menegakkan kebenaran dengan akal dan nurani mereka.



Komentar

Tinggalkan komentar