Guru vs Pengusaha Culas: Perlawanan Sunyi di Ruang Kelas

Di tengah dunia yang semakin tunduk pada logika uang, guru tampak seperti sosok yang kalah zaman. Ia tak punya saham, tak punya panggung, dan sering kali bahkan tak dihargai dengan layak. Namun justru di tengah keterbatasan itulah, guru memegang peran paling penting: menjadi benteng terakhir agar manusia tidak kehilangan akal dan nurani.

Karena di seberang sana, ada kekuatan lain yang terus menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan: pengusaha culas—mereka yang mengubah segalanya menjadi komoditas, bahkan kebenaran sekalipun.


Ketika Moral Dikalahkan oleh Modal

Pengusaha culas bukan sekadar orang kaya. Mereka adalah simbol dari sistem yang menjadikan untung rugi sebagai ukuran tunggal dari segala hal.
Bagi mereka, pendidikan hanyalah “pasar tenaga kerja”, lingkungan adalah “sumber daya”, dan manusia hanyalah “alat produksi”.

Mereka menggoda masyarakat dengan iklan, meninabobokan dengan gaya hidup instan, dan menanamkan ide bahwa kebahagiaan bisa dibeli. Dalam sistem seperti itu, keserakahan dibungkus dengan kata “kemajuan”, dan kecurangan diberi nama “strategi bisnis”.

Dan di tengah kabut kepalsuan itu, guru berdiri—sendirian, sering kali sunyi—mengingatkan bahwa ada hal-hal yang tak bisa dibeli: akal sehat, kejujuran, dan martabat.


Guru: Sang Penjaga Akal Sehat

Tugas guru hari ini jauh lebih berat daripada sekadar mengajar membaca atau berhitung. Ia harus menjadi penjaga akal sehat di tengah serbuan kebohongan yang dibungkus kemasan modern.
Guru mengajarkan bahwa berpikir tidak cukup dengan menghafal; bahwa kemajuan tidak berarti apa-apa jika mengorbankan keadilan.

Melalui dialog, diskusi, dan keteladanan, guru menanamkan sikap kritis pada siswanya—kemampuan untuk bertanya, menimbang, dan menolak tipu daya.

Karena pengusaha culas bisa menguasai pasar, tetapi tidak akan pernah bisa menguasai manusia yang berpikir kritis.
Dan di sinilah letak perlawanan intelektual guru: melindungi generasi dari manipulasi sistem yang mengagungkan uang di atas kemanusiaan.


Berpikir Kritis sebagai Benteng dari Penipuan

Berpikir kritis bukan sekadar keterampilan akademik. Ia adalah bentuk kesadaran moral.
Siswa yang terbiasa berpikir kritis tidak mudah percaya pada iklan yang berlebihan, tidak silau pada kemewahan, dan tidak tertipu oleh “kesuksesan” yang menginjak orang lain.

Guru mengajarkan mereka untuk bertanya:

“Siapa yang diuntungkan?”
“Apa dampaknya bagi sesama?”
“Apakah ini benar atau hanya tampak benar?”

Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu adalah vaksin melawan manipulasi. Dalam masyarakat yang sering terperangkap oleh citra dan retorika, kemampuan berpikir kritis menjadi bentuk keberanian—karena ia membuat manusia sulit dikendalikan.


Perlawanan Sunyi

Guru tidak perlu mengibarkan spanduk perlawanan. Ia melawan dengan cara yang lebih halus, lebih mendalam: melalui kata-kata di ruang kelas, melalui kejujuran yang diajarkan tanpa pamrih, melalui teladan sederhana di depan murid-muridnya.

Ketika pengusaha culas membangun gedung megah, guru membangun kesadaran.
Ketika dunia sibuk menghitung laba, guru menghitung nilai.
Dan pada akhirnya, sejarah akan berpihak pada siapa yang menanamkan kebenaran, bukan pada siapa yang menimbun kekayaan.


Penutup: Guru sebagai Hati Nurani Bangsa

Di antara kekuasaan modal dan kemuliaan moral, guru memilih yang kedua—meski sering berarti jalan sunyi.
Ia tahu, pendidikan sejati bukan tentang mencetak pekerja patuh, tetapi melahirkan warga yang bebas berpikir dan berani menolak kebohongan.

Maka selama masih ada guru yang jujur, kritis, dan berani mendidik dengan hati, bangsa ini tidak akan sepenuhnya dikuasai oleh pengusaha culas. Karena selama akal dan nurani masih hidup, kezaliman ekonomi tidak akan pernah menjadi takdir.

Guru adalah perlawanan itu sendiri—tenang, tapi tak pernah padam.



Komentar

Tinggalkan komentar